Selasa, 06 Januari 2009


Apa jadinya jika solar dicampur dengan air, bisakah digunakan sebagai bahan bakar? jika pertanyaan itu ditujukan pada dosen saya di Universitas Trisakti Dr Ir M.Hafnan MEng, maka dengan cepat dia akan mengatakan bisa. Hafnan ternyata berhasil menemukan racikan zat aditif yang bisa mencampurkan solar dengan air tanpa mengganggu kestabilan campurannya. Formula ini diberi nama solar hijau, hasil penelitiannya selama enam tahun.

Belum lama dia dan timnya mempresentasikan temuannya itu di kantor Ditjen Minyak dan Gas Bumi (Migas) departemen ESDM. Presentasi itu sendiri dihadiri oleh Dirjen Migas Dr Ing Evita H.Legowo, direktur pengembangan hilir gas dan minyak Ir Saryono Hadiwidjoyo SE, direktur di Direktorat Teknik dan Lingkungan Migas Ir Suyartono MSc, dan mantan President director PT Medco Energy International John S.Karamoy.

Dalam presentasinya itu mula-mula Hafnan mengambil air di dalam tabung, lalu dicampurkan kedalam tabung yang sudah berisi solar. Dengan sebuah alat campuran air dan solar itu diaduk, kemudian ditambahkan zat aditif. Tak lama kemudian seluruh campuran tersebut menyatu dan warnanya sama dengan warna solar semula. Fungsi dari zat aditif tadi adalah untuk membuat air bisa menyatu dengan solar. Formula zat aditif inilah hasil temuan Hafnan dan sudah dipatenkan.

Lalu apa bedanya solar hijau ini dengan solar yang dijual dipasaran? dosen yang mendalami combustion engine (motor bakar) di Ritsumeikan University Kyoto Jepang ini mengatakan bahwa solar hijau ini lebih ekonomis dan ramah lingkungan. Apabila digunakan sebagai bahan bakar, dapat menurunkan emisi hingga 40 persen.

Hafnan menambahkan bahwa solar hijau ini sendiri sudah di tes di berbagai tempat, dan rata-rata biaya yang dikeluarkan untuk sekali tes saja bisa mencapai 100-200 juta. Salah satu tempat pengujiannya adalah di Laboratorium Motor Bakar dan Sistem Propulsi (LMBSP) ITB. Hasil tes di ITB itu menunjukkan bahwa dengan solar hijau terjadi penurunan gas buang NOx maksimal 42 persen; CO maksimal 22,6 persen; dan opasitas maksimal 3,2 persen. Selain itu dapat menghemat bahan bakar maksimal 12 persen pada beban tinggi (80 persen) serta tidak mengganggu kinerja mesin.

Selain di ITB, solar hijau ini juga sudah di uji di PLTD Sungai Kupang, Kalimantan Selatan. Spesifikasi mesin yang digunakan saat itu adalah Diesel Engine Deutz BF8 (1996), 8 Cylinder V Engine, 280kVA, 1500rpm. Hasil yang didapat adalah, emisi gas buang menjadi bersih, tidak terjadi gangguan kinerja mesin maupun kerusakan mesin, dan tidak terjadi pemborosan bahan bakar. Dari hasil uji coba di PLTD ini, Hafnan mengklaim bahwa apabila solar hijau digunakan sebagai bahan bakar mesin pembangkit listrik, maka PLN bisa menghemat anggaran pembelian solar. Saat ini kebutuhan solar untuk pembangkit listrik PLN se-Indonesia sekitar 40 juta liter per hari, maka dengan menggunakan solar hijau Hafnan yakin PLN bisa meghemat solar sekitar 4 juta liter per hari.

Sedangkan untuk komposisinya, solar hijau ini menggunakan 75 persen solar, 10 persen air, dan 15 persen zat aditif. Zat aditif ini sendiri diracik dari minyak mentah (crude oil) dan bahan kimia. Lantas apa tanggapan para peserta tentang karya Hafnan ini? ternyata sebagian besar mereka mengatakan sangat tertarik. Mereka berjanji akan mempelajari solar hijau ini terlebih dahulu apakah memungkinkan untuk diproduksi secara komersial atau tidak. Semoga ini bisa menjadi salah satu solusi dalam menghadapi krisis bahan bakar yang sangat menyulitkan kita akhir-akhir ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada Ide?